
Peringatan Hari Kematian Munir
Tak terasa, kini telah berlalu kurang lebih dua dekade sejak kepergian Munir Said Thalib, sosok pejuang hak asasi manusia yang gigih. Pada tanggal penuh kesedihan itu, saat langit malam terbentang di atas udara penerbangan menuju Amsterdam, Indonesia kehilangan suara moral yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.
Baca juga :Gerhana Bulan Memukau! Begini Cara Menyaksikannya di Langit Indonesia

Dua Puluh Tahun, Namun Semangatnya Tetap Menyala
Saat mengenang momen itu, rasa harap sekaligus kehilangan silih berganti muncul. Paruh abad yang direntangkan antara dulu dan kini seakan memperlihatkan bahwa jejak Munir jauh melewati angka tahun—namanya menjadi bagian dari kesadaran kolektif bangsa tentang pentingnya integritas dan konsistensi dalam memperjuangkan HAM.
Dari Aktivis hingga Legenda
Munir tidak lahir sebagai nama besar dalam sejarah HAM Indonesia—ia meletakkan dasar perjuangannya sendiri melalui langkah-langkah sederhana namun berani. Ia mendirikan KontraS, menyuarakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Papua, Aceh, dan Timor Timur. Gelar Right Livelihood Award di tahun 2000 menjadi pohon tumbuh yang sudah lama disirami keberaniannya.
Kematian tragisnya mengingatkan kepada kita bahwa mereka yang paling lantang menyuarakan kebenaran sering kali menanggung risiko paling besar. Namun semangat itu tetap hidup—seiring dengan dukungan tak kenal henti dari istri tercinta, Suciwati, yang terus menjaga agar Peringatan Kematian Munir tak sekadar tanggal mengenang, melainkan panggilan menjaga konsistensi dalam memperjuangkan hak asasi manusia.
Baca juga: Abigail Limuria: Sosok Muda yang Jadi Suara Baru Politik Indonesia
Perjalanan Hidup yang Menginspirasi
Munir lahir di Batu, Jawa Timur, pada tahun 1965. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, ia tak hanya menjadi pengacara—tapi juga menjadi suara bagi mereka yang tak terdengar. Ia pernah mengalami ancaman, bahkan luka serius saat menyelamatkan seorang buruh, namun justru itu semakin menguatkan langkahnya.
Perjalanan hidupnya menjadi narasi bahwa perjuangan bukan soal tahta, tetapi tentang kehadiran nyata bagi sesama. Dua puluh tahun berlalu, tetapi kehadirannya masih terasa di hati publik yang peduli terhadap dunia yang adil.
Menghidupkan Kenangan Lewat Aksi Nyata
Momentum peringatan ini tidak hanya diisi dengan doa ataupun upacara formal. Banyak komunitas menyelenggarakan diskusi, pameran foto, serta edukasi tentang hak asasi manusia di sekolah dan ruang publik. Ini bukan soal mengenang, melainkan soal menyalakan kembali obor perjuangan Munir.
Setiap kisah tentang korban pelanggaran HAM, setiap aksi advokasi yang menegakkan kebenaran—itulah warisan hidup yang paling berharga dari peringatan ini. Seolah Munir berkata, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Baca juga: Siapa Ahmad Sahroni? Dari Hidup Susah Kini Jadi Politisi Sekaligus Crazy Rich

Peringatan Kematian Munir bukan sekadar momen sedih dalam kalender nasional. Ia adalah panggilan agar kita tak berhenti atas pencapaian masa lalu, tapi terus merajut kampanye keadilan yang inklusif.
Selamat jalan, Munir. Semoga perjuanganmu terus bergema—dalam setiap langkah yang berdiri tegak untuk martabat manusia.